Oleh : Jaisyurahman
Cerita berikut ini merupakan the
real dream yang saya alami tadi malam sewaktu tidur, sengaja ditulis dengan
harapan akan memberikan inspirasi bagi sahabat semua, semoga bermanfaat, amin.
Selepas membuka beberapa buku (metode penelitian, perilaku riset dan
sosial, novel true love) sembari
headset yang masih terpasang di telinga, aku putuskan segera mengakhiri
aktivitas hari ini untuk merajut mimpi saat tidur, terasa begitu nyenyak tidur
mala mini, walau hanya beralaskan bantal kesayangan, kemudian sleeping bag yang telah menjadi teman
setia sejak aktif di organisasi pecinta alam, sampai-sampai di tengah tidur
saya bermimpi yang begitu mengesankan,
Cerita mimpi yang masih terekam dalam benak saya adalah ketika saya
pulang kampung setelah lama tidak kembali, saya menemukan beberapa hal yang
berbeda yang terjadi dengan keluarga saya, dirumah saya banyak orang yang
rasanya tidak terlalu akrab untuk dikenali, namun sejak kedatangan kerumah saya
tidak melihat wajah ayah saya, bahkan ibu pun tak bisa langsung saya temui,
yang pertama saya temui yakni adik saya, yang dengan terbata-bata ia berkata
“A, sabar ya, ayah sudah lama meninggal, dan ibu sudah menikah lagi, saat ini
ibu sedang di fitnah membunuh orang”, deg, betapa kaget perasaan saya pada saat
adik bicara seperti itu.
Yang membuat saya kaget adalah kenapa tidak pernah ada yang mengabari
kalau ayah meniggal dan ibu sudah nikah lagi, apa alasan mereka merahasiakan
ini semua? Dalam hati penuh tanya, padahal bisa menghubungi saya via telefon,
ini sungguh keterlaluan guman saya dalam hati. Apa saya sudah tidak dianggap
bagian dari keluarga ini? Semakin banyak tanya yang harus saya jawab sendiri,
karena tidak saya utarakan, mengingat hati yang begitu kesal.
Saya merasa kecewa kepada Ibu, sayapun kecewa dengan sikap adik dan
kakak saya, mengapa harus begini, yang membuat hati saya teramat sakit adalah
saya merasa sangat kecewa pada diri sendiri karena selama ayah masih hidup,
saya belum pernah berbalas budi kepada orang yang dalam benak saya ialah pahlawan yang begitu berjasa dalam hidup
keluarga kami. Saya merasa berdosa karena sampai sebesar ini hanya bisa
membebani beliau, saya merasa belum pernah membut ia tersenyum bangga dengan
apa yang bisa saya berikan, saya merasa gagal karena belum menjadi anak yang
berbakti kepadanya.
Padahal kalau saya buka lembaran-lembaran lama tentang beliau, betapa
hati ini bersimpuh malu melihat kerja kerasnya dalam mencari rizki, saya masih
ingat aya saya harus berangka kerja sebelum mentari terang dan baru pulang kala
mentari kembali, saya masih ingat betul keringat yang bercucuran dari mukanya
ketika beliau mengelola tanah yang kami Tanami dengan berbagai tanaman untuk di
jual, saya masih ingat betul badannya yang tinggi dan tidak terlalu gemuk saat
beliau berkerja disawah dengan perkerja yang lain, beliau harus mencangkul,
sampai panen, kemudian mengangkut hasil panen kelumbung padi, semua
pekerjaannya menguras keringat, bahkan beliau harus bangun sebelum adan subuh
berkumandang, selepas melaksanakan shalat subuh, setelah menyeduh segelas kopi
biasanya beliau menyempatkan dulu untuk menyiram benih tanaman yang akan
disebar di kebun.
Bahkan selepas shalat isya beliau juga sering menghabiskan waktu
malamnya dengan mengerjakan proyek pembuatan pesanan pintu, lemari, dan
berbagai kerajinan mebel yang diminta pihak pemesan, saya masih ingat waktu
tidur beliau dalam sehari semalam hanya dari jam 23.00-04.00, sungguh teladan
yang sangat baik bagi kami anak-anaknya, sehingga kamipun secara tidak langsung
diajari untuk tekun, ulet, tanggungjawab dan disiplin.
Beliau adalah orang yang sangat sederhana dalam hidup, namun pekerja
keras, saya masih terngiang dengan yang disampaikan oleh nenek dari ayah, nenek
selalu bilang bahwa ayah itu adalah anak yang rajin, giat dan gigih dalam
bekerja, dulu semasa masih bujangan (belum menikah), nenek bilang ayah suka
membantu nenek untuk menjajakan dagangannya, padahal biasanya usia seperti itu,
kebanyakan remaja yang lain pemalu, apalagi harus berdagang, tapi itu tidak
berlaku dalam kamus giatnya ayah. Saya merasa malu dengan kegigihan beliau,
maka ketika hari ini masih belum bisa berterima kasih/berbakti (mulangtarima), saya merasa sangat
sedih. Sampai-sampai karena saking sedihnya saya menangis tersedu-sedu. Sampai
ketika saya sadar dari tidur dan saya bangun saya benar-benar menangis. Dan itu
berlangsung lama.
Sahabat yang baik, teguran yang saya alami malam ini, membuat saya sadar
bahwa mencintai orang tua, baik ibu ataupun ayah, tidak harus menunggu waktu,
selepas kita merasa sukses, tetapi cintailah mereka, cintailah dia, mumpung
masih ada. Jangan pernah menunda berbagai kebahagiaan dengan keduanya,
segeralah tumpahkan dan buktikan bahwa sahabat adalah anaknya yang
membanggakan. Ketika sahabat menjadi pelajar, maja jadilah pelajar yang
berprestasi dan membanggakan orang tua, ketika sahabat mahasiswa, maka jadilah
mahasiswa yang baik, rajin, dan berprestasi, serta tidak mengecewakan mereka.
Apalagi kalau sahabat sudah memiliki pekerjaan atau sudah berpenghasilan,
segeralah berbagi hasilnya dengan mereka, walaupun mereka tidak akan pernah
meminta, tetapi coba sadari betapa banyaknya kebaikan mereka kepada kita. Sejak
kita dilahirkan hingga sebesar ini.
Bahagiakan ia dengan kebaikan yang bisa kita lakukan, sekecil apapun,
banggakan ia dengan prestasi dan keberhasilan yang bisa sahabat raih, jangan
pernah membuat ia mengelus dada karena dipaksa harus sabar dengan ulah kita
yang kurang terpuji, melainkan buatlah ia tersenyum selamanya, karena keberhasilan
yang sahabat capai, kalaupun mau membuat mereka menangis, jadikan mereka
menangis karena bangga anaknya telah berhasil mencapai mimpi-mimpi dan
cita-citanya,
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,