Oleh
: Ence Surahman
Alhamdulillah
jari jemari ini kembali menuruti kata hati irama jiwa untuk merangkaikan huruf
demi huruf menjadi kata, kata demi kata menjadi kalimat, kalimat demi kalimat menjadi paraghraf yang padu
hingga akhirnya terwujudlah sebuah rangkaian makna yang keluar dari kegundahan
ide dan gagasan yang ingin segera disebarluaskan hingga keberbagai penjuru
dunia, agar mereka tahu bahwa ingin kusampaikan hal ini padanya.
Rabu, 6 Februari 2013 menjadi hari yang bersejarah dalam rangkaian
hidup saya, tepat pukul 13.45-14.15an saya dan beberapa teman yang lain
diundang oleh ketua prodi untuk menerima hasil yudisum sidang skripsi yang
sudah kami laksanakan pada tanggal 23 Januari 2013. Senang bercampur sedih,
yang diselimuti penuh tanya dalam jiwa, “bagaimana
hasil yudisium sidang kami?”. Tak lama berselang setelah ketua Prodi Teknologi Pendidikan (Dr.
Rusman,M.Pd) memberikan pengantar atas nama prodi, menyampaikan
pesan ritual dan bekal bagi kami, akhirnya satu demi satu kami menerima hasil
yudisium sidang yang telah kami lewati.
“Alhamdulillahirabbil’alamin”
sembari menarik nafas yang dalam bahwa ternyata saya berkesempatan mendapatkan
nilai terbaik diantara sesama teman yang sidang pada saat itu. Yudisium saya
diganjar dengan nilai A dengan angka tetulis 3,63 sehingga mengantarkan indeks
prestasi kumulatif pada angka 3,83
bertambah 0,1 point dari IP sebelumnya 3,82 dan masih mendapatkan predikat cum loude. Saya merasa amat senang
karena akhirnya mimpi saya bisa com loude alhamdulillah bisa tecapai. Terlebih
ketika menerima ucapan selamat baik secara langsung ataupun via SMS dan
komentar dari dosen, guru-guru ketika di SMP, SMA, sesama pengajar disekolah, teman-teman
dijejaring sosial, bahkan dari pejabat kampus (Rektor, Pembantu Rektor, Dekan,
Pembantu Dekan) sungguh saya merasakan kebahagiaan yang tiada terkira, maklum
karena mungkin itu kali pertama saya rasakan dalam hidup saya.
Namun selepas itu, saya bertemu dengan sebuah masa perenungan
panjang dan mendalam, inipun renungan pertama dalam perjalanan hidup yang belum
pernah saya alami sebelumnya. Tahukah tentang apa itu? Yaitu tentang sebuah tAnda
tanya yang begitu susah saya temukan jawabannya. Selengkapnya saya uraikan
dalam paraghraf berikut ini, semoga hal ini menjadi bahan motivasi bagi sesama
kawan yang sedang menjalani masa studi program sarjana, agar ada langkah yang
berbeda yang teman-teman tempuh sejak dini, sehingga apa yang terjadi dan saya
alami tidak terjadi dan tidak dialami oleh teman-teman saya.
Saya mau mulai dari cerita masa kecil dulu ketika saya masih di
sekolah dasar kelas 2. Saat itu dengan penuh keyakinan saya bilang sama orang
tua bahwa saya ingin, akan dan harus kuliah, saya ingin menjadi seorang
sarjana. Saya ingin seperti mereka sepertinya sarjana itu senang, punya banyak
ilmu bahkan banyak manfaat untuk orang lain dan juga bisa berpeluang bekerja atau membuat perusahaan yang bisa
menghadirkan kesejahteraan. Akhirnya berbekal keyakinan itulah saya terus belajar
yang maksimal yang bisa saya lakukan hingga akhirnya dengan penuh perjuangan
saya bisa menginjakan kaki merasakan secara langsung bagaimana indahnya dunia
kampus, nyamannya belajar dilingkungan yang kondusif, hingga kehangatan yang
terbangun dengan teman-teman kuliah dan teman-teman yang bertemu di organisasi.
Tapi ternyata tAnda tanya besar yang muncul selepas dinyatakan
lulus menjadi seorang sarjana yang dulu dicita-citakan seolah menjadi
penyesalan batin yang mau tidak mau
harus segera diakhiri.
Pertanyaan sakral itu seputar “apa yang telah saya kuasai sebagai
seorang sarjana? Kemampuan apa saja yang saya miliki setelah menjadi sarjana?
Sudah seberapa besar ilmu yang dimiliki? Lalu apa manfaat yang sudah saya tebar
sebagai seorang sarjana? Kecakapan diri apa yang telah menggambarkan bahwa saya
seorang sarjana? Sudah siapkah saya terjun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dengan title kecil seorang sarjana? Bisakah hidup bermasyarakat
terlebih menjadi teladan bagi lingkungan sekitar sebagai seorang sarjana?
Lapangan pekerjaan apa yang sudah saya miliki untuk memberdayakan masyarakat
yang belum punya pekerjaan? Sudah siapkan menjalani profesi yang saya pelajari
selama dikampus? Sudah siap dan layakkah menjadi leader dan teladan baik untuk diri sendiri, keluarga dan
masyarakat? Dengan title sarjana yang sudah ditangan sudahkah saya hidup
mandiri dengan penuh percaya diri?.....” subhanallah pertanyaan itu membuat
saya malu sendiri dan bingun bagaimana memuaskan hati dengan
jawaban-jawabannya. Jujur sampai tulisan
ini rampungpun masih banyak pertanyaan yang bisa saya temukan jawabannya.
Sampai sesekali pernah saya bertanya pada diri sendiri “sudah
layakkah saya menjadi sarjana?” sungguh saya tidak bisa memberikan jawaban dari
pertanyaan sederhana diatas. Bahkan ketika pertanyaan itu hadir sebelum
saya menyelesaikan skripsi, saya sempat terhenti bahkan merasakan kembali butuh
waktu dan proses untuk duduk dikelas dengan dosen, diskusi sesama teman
mahasiswa tentang sebuah masalah yang kita pecahkan bersama, saya rindu
masa-masa semangat mengerjakan tugas dari dosen, membaca literatur-literatur,
membaca artikel, jurnal dan buku-buku.
Namun kini, semuanya sudah sampai di titik ini. saya sudah menjadi
seorang sarjana. Seorang yang telah diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk
menikmati dunia kampus, yang ternyata hanya 23 % saja dari lulusan SMA, MA, SMK
dan yang sederajat yang bisa berkesempatan menjadi mahasiswa, bahkan yang sudah
menjadi mahasiswapun tidak sedikit yang putus ditengah jalan, yang dropt out
atau mengundurkan diri, tapi saya alhamdulillah sudah bisa melewati semuanya.
Walau dengan rasa sesal yang mendalam karena tak bisa memuaskan pertanyaan dan
kegundahan jiwa, namun disitulah kesadaran itu muncul. Saya sadar bahwa setelah
menjadi seorang sarjana itu bukanlah akhir dari perjalanan hidup saya namun itu
adalah awal dari perjuangan hidup yang akan semakin penuh dengan tantangan.
Setelah menjadi seorang sarjana tidak berarti tidak lagi belajar,
tidak lagi berdiskusi, tidak lagi senang membaca artikel, jurnal dan buku,
justru setelah menjadi sarjana saya
dituntut untuk memantaskan diri bahwa kita saya adalah seorang sarjana yang
harus memberi arti baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Pesan singkat untuk teman-teman yang masih menjalani masa studi
jenjang sarjana, pastikan untuk memaksimalkan ikhtiar dan mengisi setiap kesempatan untuk
memperbanyak ilmu, wawasan dan terus mengasah kecakapan dan keterampilan hidup.
Janganlah terfokus hanya pada bidang keilmuan yang Anda perlajari dijurusan Anda,
namun pastikan disempurnakan dengan kecakapan-kecakapan lainnya yang akan
semakin memantaskan kesarjanaan Anda.
Bagi yang masih terbiasa asal-asalan kuliah, yang asal mengerjakan
dan mengumpulkan tugas, segera perbaiki sikap mental belajar yang seperti itu,
ubahlah menjadi sikap belajar yang tangguh, sungguh-sungguh dan penuh
kekhusyuan, carilah berkah dari setiap ilmu yang Anda pelajari, dengan hormat dan
santun kepada dosen, saling berkasih sayanglah kepada sesama mahasiswa agar terbangun relasi yang positif.
Terus asah kecakapan diri sendiri, tebarkanlah kebaikan dan manfaat diri.
Sungguh penyesalan itu akan hadir diakhir nanti, maka pastikan ia tidak pernah
menghampiri diri Anda, yakni hal itu dikarenakan Anda benar-benar mempersiapkan
diri Anda layak menjadi seorang sarjana. Semoga Anda menjadi sarjana yang
diberkahi Tuhan, aamiin.
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,