Oleh : Ence Surahman
Alhamdulillah senang rasanya punya kakek yang peduli
dengan cucu-cucunya, walaupun beliau tidak pernah mengenyam pendidikan formal
yang tinggi dan konon hanya sampai Sekolah Rakyat (SR selevel dengan SD) juga
hanya sampai kelas IV. Tapi pengalaman hidupnya sungguh sangat menginspirasi,
bahkan setiap cerita yang beliau sampaikan selalu saja terdapat nilai-nilai
heroik yang menjadi pendorong saya dalam melangkahkan kaki mengarungi
perjalanan hidup yang masih tersisa.
Saking senangnya saya mengorek kisah hidup beliau yang
kini sudah menginjak usia 71 tahun. Setiap kali saya pulang kampung selalu saja
saya sempatkan untuk minta nasihat dari beliau. Terkadang nasehat langsung yang
beliau sampaikan atau nasehat yang dikemas dalam bentuk cerita, namun semuanya
sungguh sangat berarti untuk saya pribadi dan mungkin cucu beliau yang lainnya.
Ketika mudik beberapa hari yang lalu, sembari menanti
tibanya adzan maghrib beliau menyampaikan nasehat “Ulah jangji gebrus”. Mungkin
bagi yang tidak terlalu akrab dengan Bahasa Sunda tiga kata diatas terkesan
asing dan butuh waktu untuk memahaminya, namun bagi yang memahami Bahasa Sunda
tentu dengan mudah bisa mendefinisikan maknanya. Yang intinya adalah “harus
hati-hati” dalam setiap hal apapun, baik hati-hati dalam bersikap, berucap,
berperilaku, hati-hati dalam mengambil keputusan, dan lain sebagainya.
Berbicara soal sikap hati-hati, subhanallah kita tentu
tidak asing Abu Bakar Asyidik, beliau orang yang begitu memperhatikan dan
menjaga diri dengan bersikap hati-hati.
Dari
‘Aisyah Radliallahu ‘anha bahwa ayahnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq
Radliallahu ‘anhu memiliki seorang budak yang setiap hari membayar setoran
kepada Abu Bakar Radliallahu ‘anhu (berupa harta atau makanan) dan beliau
makan sehari-hari dari setoran tersebut. Suatu hari, budak tersebut membawa
sesuatu (makanan), dan Abu Bakar Radliallahu ‘anhu memakannya. Budak itu
berkata kepada beliau, “Apakah Anda mengetahui apa yang Anda makan ini?” Abu
Bakar Radliallahu ‘anhu balik bertanya, “Makanan ini (dari mana)?”Budak itu
menceritakan, “Dulu di zaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan
untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya,
dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut,
dia memberikan (hadiah) kepadaku makanan yang Anda makan ini. ”Setelah
mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar memasukkan jari tangan beliau ke
dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau.” (HR.
Bukhari No. 3629)
Kisah tersebut menggambarkan tingginya ketakwaan dan
keimanan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau sangat berhati-hati menjaga anggota
badan beliau dari mengonsumsi makanan yang tidak halal. Inilah aplikasi dari
sifat wara’ yang sebenarnya (lihat Bahjatun Nadzirin, 1/649).
Sikap wara’ layaklah
dimiliki oleh semua orang, agar dirinya terjaga dari perkara yang akan
menimbulkan madorot dan dosa baik untuk
dirinya ataupun orang lain, baik berdampak ketika masih didunia ataupun nanti
setelah diakhirat.
Melihat fenomena hari ini,
baik para oknum pejabat yang terbukti korup ataupun para penyidik dan penegak
hukum yang tidak adil dalam membuat keputusan akan sebuah perkara, lalu para
pencari, pengolah dan penyebar berita yang asal buat konten berita padahal
tidak benar atau terdapat muatan berita yang diada-adakan, hal ini menunjukan
lemahnya implementasi sikap mulia yakni hati-hati. Semoga kita mau dan mampu
untuk belajar dari hal-hal yang kecil dalam rangka mewujudkan pribadi yang
senantiasa berhati-hati. Aamiin. wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,