Oleh : Ence Surahman
Sehabis shalat subuh munggu pagi 28
April 2013, saya mulai mengemudikan kendaraan untuk tujuan pulang kampung ke
Garut. Berhubung waktu masih cukup pagi, dan jalan masih luang dari pada
pengendara, akhirnya saya bisa membawa motor dengan kecepatan rata-rata antara
60-80 km/jam. Bahkan sesekali sempat saya perhatikan spidometer saya yang sudah
menunjukan angka 90 km/jam.
Semangat riding competition saya terus membara terlebih ketika ada satu
pengendara yang seolah-olah ia sedang mengajak saya untuk menunjukan siapakah
rider sejati itu? Perjalanan Banjaran-Pangalengan yang berkelok menanjak
menjadi lintasan debut mesin yang terus menderu. Hingga akhirnya saya berhasil
mengepalkan tangan saya pertanda saya bisa sampai ke pangalengan lebih dulu.
Rasa senang itu tidak bertahan lama,
setelah kejaian yang mampu mengubah semuanya, ketika kecepatan menunjukan angka
65-70 km/jam. Tiba-tiba saya terpaksa harus menginjak rem depan belakang secara
keras, hingga akhirnya motor saya hilang kendali dan hampir saya menabrak mobil
minibus yang sedang melaju cukup cepat dari arah yang berlawanan.
Saya hampir saja kehilangan
keseimbangan, terlebih ketika saya mendengar jerit para penumpang dari mobil
tersebut. Dan sayapun teringat untuk berteriak “aaaaaaa” sampai akhirnya motor
saya berhenti kurang dari jarak 1 meter didepan bemper depan mobil. Ya, itulah
momentum yang belum pernah saya alami sebelumnya. Dan momentum itu telah
meningkatkan kesadaran saya, bahwa kematian itu begitu dekat. Dan bagi Allah
hal itu sangatlah mudah.
Setelah telinga saya cukup panas
mendengar cacian dari beberapa penumpang terutama kondektur yang berkata-kata
begitu kasarnya, sayapun tidak bisa melakukan banyak hal, hanya permintaan maaf
yang tidak sempat disampaikan, dan selebihnya hanya perasaan menyesal
berkepanjangan karena telah mengendarai dengan kecepatan yang kurang normal
untuk kondisi jalan yang seperti itu.
Seandainya saja setelah ekjadina itu
saya bercermin, sepertinya muka saya begitu pucat, bahkan saya sendiri
merasakan seolah-olah darah itu berhenti mengalir (padahal sebelumnya belum
pernah). Dan setelah itu, kecepatan kendaraan yang saya kemudikan tidak lagi
melebih angka 35-40 km/jam. Dan yang lebih penting dari itu semua, yakni
perasaan menyesali semua perbuatan buruk yang telah dilakukan. Dan semangat
untuk memperbaiki dan bertobat sesegera mungkin.
“alhamdulillah Ya Allah, engkau
masih memberikan kesempatan hamba untuk bertobat, maka bimbinglah hamba-Mu yang
lebih ini”.
Bandung, 29 April 2013.
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,