Oleh : Ence Surahman,
S.Pd
Beberapa hari terakhir
baik media cetak maupun elektronik khususnya yang terbit dan beredar di Kota
Bandung ramai-ramai memberitakan aksi buruh dalam upaya menuntut kenaikan Upah Minimum
Kerja (UMK) di Kota Bandung untuk tahun 2014. Bahkan bukan hanya itu, aksi para
buruh tersebut sempat memuat beberapa ruas jalan protokol dan jalan-jalan
sekitar balai kota menjadi macet dan terjadi banyak pengalihan arus kendaraan.
Konon setelah dibicarakan
secara serius antara perwakilan buruh dengan wali kota Bandung Ridwan Kamil,
keluarlah nominal Upah Minimum Kerja (UMK) tahun 2014 yakni 2 juta dari angka
2,7 juta yang menjadi tuntutan para buruh. Artinya kenaikan yang cukup
signifikan bila dibandingkan dengan Upah Minimum Kerja (UMK) tahun 2013 yang
berada pada angka Rp. 1.538.103.
Terlepas dari masalah
apakah Upah Minimum Kerja (UMK) 2 juta tersebut mampu memuaskan tuntutan
para buruh atau tidak, atau apakah angka
tersebut telah mencukupi standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) para buruh? namun diluar
itu ada hal mendasar yang harus menjadi perhatian kita semua. Karena
sesungguhnya yang menjadi masalah mendasar bukanlah kenaikan angka Upah Minimum
Kerjanya melainkan PR besar untuk pemerintah agar bisa membukakan lingkaran
syetan yang berkaitan dengan permasalahan mendasar tadi, intinya selama
perusahaan-perusahaan yang selama ini menjadi tempat bekerjanya para buruh
masih dimiliki oleh pihak swasta, maka permasalahan Upah Minimum Kerja (UMK)
tidak akan pernah selesai walau Upah Minimum Kerja (UMK) dinaikan 200%
sekalipun.
Logikanya kalau
misalnya pihak perusahaan harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk menggaji
para karyawan, maka agar perusahaannya tidak bangkrut dan gulung tikar, pihak
pengusaha akan melakukan strategi salah
satunya adalah dengan menaikan harga jual dari produksinya. Dan jika harga
produksi meninggkat, maka jumlah kebutuhan minimal masyarakat akan meningkat
juga, dan apabila kebutuhannya meningkat, masyarakat khususnya para buruh akan
menuntut peningkatan Upah Minimum Kerja (UMK) lagi dan proses itu akan terus
berulang dan tidak akan ada ujungnya.
Solusi dari
permasalahan itu, salah satunya adalah dengan pengambilan kepemilikan
perusahaan-perusahaan swasta oleh pihak pemerintah agar nantinya pemerintah
bisa membuat regulasi yang selalu mengedepankan prinsip win-win solution dan hal ini mudah-mudahan akan mampu membongkar
tabir lingkaran syetan polemik Upah Minimum Kerja (UMK) yang tiada pernah
berujung. Selain itu keuntungan dengan kepemilikan oleh pihak pemerintah maka
unsur monopoli perekonomian yang selama berada dalam cengkraman para pengusaha
swasta terlebih investor asing akan lebih bisa diminimalisir dan perhatian pada
kesejahteraan rakyat akan lebih meningkat.
Selama pihak pemerintah
menjadi pihak ketiga, tentu polemik Upah Minimum Kerja (UMK) yang setiap tahun
menjadi perdebatan panjang tidak akan pernah berhenti dan ia akan terus
berulang disetiap akhir tahun, karena dalam hal itu pemerintah hanya bisa
memainkan peran sebagai regulator yang tidak terlalu berpengaruh, terlebih
apabila ada oknum yang malah cenderung memihak kepada pihak pengusaha, tentu
nasib buruh bisa semakin terkatung-katung.
Sementara ketika
saham-saham dan perusahaan yang selama ini dikuasasi swasta dan asing telah
dimiliki oleh pemerintah, tentu pemerintah tidak akan terlalu rumit dan
pusing-pusing untuk memediasi pihak pengusaha dengan pihak buruh, karena nanti
hanya ada dua pihak yakni pihak buruh yang sekaligus sebagai rakyat yang harus
diayomi pemerintah dan pihak pemerintah yang berperan sekaligus sebagai pemilik
usaha yang menjadi sumber penghasilan para buruh.
Dengan begitu
lonjakan-lonjakan harga barang-barang produksi dipasaran akan lebih mudah
dikendalikan, karena pemerintah yang membuat aturan dan pemerintah tidak
seperti dengan pihak pengusaha swasta atau asing yang selalu menginginkan
untung untuk kepentingan diri dan golongan pemilik saham perusahaan, melainkan
kalaupun ada untung tentu akan dioptimalkan untuk pengadaan lapangan kerja yang
baru dan akan selalu berorientasi kepada kesejahteraan rakyat. Sebagaimana
amanat dalam undang-undang dasar 1945 pada pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun kenyataan hari
ini berbeda, justru banyak praktik pengolahan sumber daya alam yang malah
dikuasai oleh pihak swasta dan asing yang tentu jauh dari harapan memberikan
keuntungan untuk rakyat Indonesia sebagaimana amanat dalam undang-undang
diatas. Dan apibila hal ini masih juga tidak diperbaiki, tentu permasalahan
kemiskinan, keterbelakangan, dan terjauh dari kesejahteraan yang dirasakan oleh
sebagian besar rakyat Indonesia tidak akan pernah berhenti. Dan jika ini masih
saja ada, itu berarti para pemerintah atau orang-orang yang diberikan kepercayaan
untuk mengurusi hal tersebut belum beramanah dengan tugas yang dibebankan dalam
undang-undang dasar.
Kembali ketopik diatas,
yakni yang menjadi permasalahan mendasar dari polemik Upah Minimum Kerja (UMK)
bukanlah pada penentuan dan ACC angka nominal Upah Minimum Kerja (UMK) yang
menjadi tuntutan dari para buruh, melainkan langkah strategik jangkan panjang
dari pemerintah untuk segera mengakuisisi dan membeli saham-saham perusahaan
yang dimiliki pihak swasta dan investor asing serta pembatasan dominasi kepemilikan
saham perusahaan oleh pihak swasta, dengan begitu pemerintah akan lebih mudah
membuat regulasi yang pro rakyat bukan malah pro pengusaha terlebih para
pengusaha asing yang secara nilai kontributif kepada tujuan perekonomian negara
dinilai kurang.
mencerahkan... sy juga suka berfikir begitu, percuma dinaikkan klw ujung2nya harga kebutuhan naik lagi... yg penting pemerintah bisa menjaga stabilitas harga pasar...
BalasHapusbetul sekali Pak Homosophonicus,
Hapusperlu ada perhatian mendalam dari semua kalangan dalam hal ini.
Setuju sekali..ayo segera bangkit Pemuda Indonesia..ambil alih semua Kekayaan yang telah Allah SWT amanhkan kepada Negeri ini..
BalasHapus