Oleh : Ence Surahman, S.Pd
Sumber Gambar : http://www.alleywatch.com/2013/06/10-tools-that-simplify-startup-collaboration/
Catatan
di personal data saya menunjukan bahwa terakhir saya menulis artikel pada bulan
Februari, itu berarti sudah 7 bulan saya tidak menulis, dan saya pikir ini bukan perkara yang bagus untuk seorang pembelajar seperti saya, karena
sempat dibulan ramadhan tahun yang lalu saya bisa konsisten membuat program one day one article during ramadhan. Alhamdulilah
saat ini kembali semangat untuk mencurahkan keresahan pikiran saya berkaitan
dengan hal-ihwal yang saya pandang sebagai sebuah masalah dan tentu beserta
solusinya yang sempat terbersit dipikiran. So, apakah gerangan yang akan saya share saat ini?
Dalam
pandangan saya, salah satu masalah pendidikan saat ini yang sangat krusial
adalah dikotomi dan parsialisasi elemen-elemen system pendidikan. Pandangan saya
ini muncul disela-sela diskusi perkuliahan landasan teknologi pendidikan tadi
siang bersama Prof. Dr. Abdul Gofur, M.Sc. dalam pengantar perkuliahan tentang
kawasan teknologi pendidikan, beliau bertanya kepada kami para mahasiswanya. Masing-masing dari kami menyampaikan pendapatnya tentang
permasalahan dalam dunia pendidikan khususnya dalam konteks pembelajaran.
Mungkin
anda akan bertanya? Apa dasar saya mengatakan bahwa masalah krusial sistem
pendidikan kita adalah dikotomi dan parsialisasi elemen-elemen sistem
pendidikan. Saya ambil contoh sederhana, misalnya antara pendidikan formal,
nonformal dan informal, sejauh penglihatan saya seolah berjalan masing-masing
tanpa ada sinergis diantara ketiganya. Mungkin ada yang bertanya? Memangnya hal
tersebut merupakan sebuah masalah? Tentu jawabannya tergantung cara pandang
masing-masing kita. Hanya bagi saya hal tersebut saya pandang sebagai masalah? Mengapa?
Alasan
pertama adalah masyarakat kita belum terbiasa dengan praktik learning society, atau sederhananya
adalah masyarakat belajar. Barangkali hal ini sangat banyak alasannya misalnya
karena latar belakang pendidikan yang rendah sehingga mindset mereka belum
tertanam bahwa pendidikan, informasi aktual dan perkembangan IPTEK dan temuan
itu adalah hal yang penting untuk diketahui. Dimana boleh jadi hal tersebut
dikarenakan juga oleh faktor kesibukan memenuhi target tuntutan ekonomi
keluarga, misalnya karena jam kerja yang padat, atau karena tidak waktu khusus
untuk belajar, hal lainnya karena mungkin merasa cukup dengan kemampuan yang
sudah dimiliki, sehinga tidak ada ikhtiar untuk improvment capability dirinya. Ini
yang saya maksud dengan belum terbangunnya learning society culture.
Alasan
kedua adalah irama pendidikan kita belum terbangun dalam satu irama yang sama. Misalnya
seorang siswa berangkat pagi pulang siang atau sore kesekolah berikutnya ada
yang bantu pekerjaan orang tua, mengerjakan tugas, dan sebagiannya lagi bermain
hal-hal yang kurang menunjang kapasitas dirinya sebagai pelajar. Dalam konteks
ini kita melihat ada masalah serius dimana orang tua dan masyarakat sebagai
ranah pendidikan non formal yang saya maksud dalam rangka mendidik siswa tadi
atau bahasa filsafat pendidikannya anak didik untuk terus belajar walaupun
bukan lagi disekolah. Contoh sederhana jika tantangan pendidikan masyarakat ini
sudah terbangun dengan baik, maka tidak akan terjadi yang namanya tawuran antar
pelajar, kemudian siswa nongkrong di tempat hiburan seperti game online,
bioskop, mall diluar waktu yang boleh ditoleransi, siswa meroko, mabuk dan
menjalin hubungan dengan lawan jenis yang bukan mukhrim dan belum waktunya. Karena
ketika masyarakat melihat pelanggaran-pelanggaran itu mereka tidak akan
dibiarkan. Masyarakat yang paham akan sangat peduli terhadap masalah-masalah
tersebut, siapapun anak didiknya, orang dewasa yang mengerti filosofi
pendidikan orang dewasa kepada anak didik pasti akan melakukannya. Apapun yang
mereka bisa lakukan guna menyelamatkan diri dan kepribadian serta masa depan
anak didik tersebut.
Hal lain
dalam kaitannya dengan pendidikan informal di dalam keluarga itu sendiri, orang
tua semestinya memamtau, mengawasi, memonitor anak-anaknya, dengan siapa
bermain, apa yang biasa dilakukan dengan teman-temannya, untuk apa uangnya
digunakan, kalau dirumah ada akses internet untuk apa mereka gunakan itu? Orang
tua yang memahami pentinganya kolaborasi dalam sistem pendidikan, maka ketika
anaknya sepulang dari sekolah, ia akan membuat rule yang disepakati dengan
anaknya tentang perkara-perkara yang penting untuk masa depan anaknya, sehingga
tidak boleh terjadi lagi orang tua acuh dengan perkembangan kepribadian
anaknya, orang tua tidak tahu kemana anaknya malam minggu, main dengan siapa,
main dimana dan lain sebagainya.
Berikutnya
saya ingin mengaris bawahi titik kritis saya tentang pentingnya membangun
budaya collaborative education culture.
Budaya yang saya maksud disini tidak hanya seperti yang saya paparkan di
beberapa alenia diatas, melainkan saya memimpikan colaborative yang dimaksud
terbangun dalam satu sistem yang padu, rapi, terstruktur, mudah dilakukan dan
akhirnya membuahkan hasil berupa output sistem pendidikan yang bermutu.
Saya
menyarankan dalam struktur kurikulum sekolah formal, karena sejauh ini hanya
sekolah formal yang memiliki struktur kurikulum yang tertulis, rapi,
sistematis, sementara untuk jalur pendidikan nonformal dan informal sifat hanya
tersirat tidak tersurat. Dalam struktur kurikulum sekolah tercantum pelibatan
elemen orang-orang dirumah siswa dan masyarakat sekitar. Maka seorang guru dan
satuan pendidikan harus bisa mengemas proses pembelajaran sepanjang waktu, any where, any things and any time. Artinya
sepulang dari sekolah, anak tidak lantas meninggalkan target kompetensi
belajarnya, malainkan hanya berpindah tempat dan lingkungan yang awalnya
disekolah menjadi dirumah dan dilingkungan masyarakat, maka siapa yang menjadi
pengganti gurunya mereka adalah orang tau, masyarakat dan sumber belajar
lain yang bisa digunakan, baik dari
perpustakaan masyarakat (yang juga belum terbudaya), tempat peribadatan, maupun
alam sekitar berupa kebun warga, lapangan olah raga, taman, area bermain dan
lain-lain. Artinya semua elemen, semua tempat, setiap waktu, mendukung dan
memungkinkan siswa atau anak didik untuk terus mengupagrade wawasannya. Dan bukan
hanya siswa, melainkan masyarakat juga akan dengan sendirinya terbantu secara
tidak langsung dan terbangun dalam budaya dan lingkungan learning society.
Biar gagasan
itu bisa lebih membumi, saya berikan contoh sederhana, misalnya dalam mata
pelajaran biology, seorang guru tidak boleh hanya menjadikan sekolah dan
laboratorium biologi sekolah (dengan segala keterbatasannya) untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang harus di capai oleh siswa. Melainkan bisa
berkolaborasi dengan orang tua, dan masyarakat. Konkritnya bertanya kepada
orang tua siswa atau tokoh masyarakat yang mengetahui kebun warga yang memiliki
tumbuhan atau hewan ternak yang terkait dengan kompetensi dalam mata pelajaran
biologi tadi, lalu guru dan siswa atau boleh hanya siswa yang diberikan panduan oleh guru untuk melakukan kegiatan
observasi lapangan lalu membuat laporan dan mempersentasikan di kelasnya. Saya pikir
hal ini selain akan berdampak pada terbangunnya learning society juga bisa
menjadi sarana latihan siswa untuk gemar melakukan kegiatan penelitian dan hal
ini sampai saat ini masih minim dilakukan disekolah-sekolah.
Kegiatan
semacam itu bukan hanya bermanfaat untuk siswa da guru tapi juga untuk para
petani, para peternak, karena setidaknya bisa terjadi proses sharing, misalnya
ada siswa yang pernah observasi di pertanian milik petani dan peternak yang
lain yang lebih bagus, maka ia bisa sharing kepada petani dan peternak yang
baru ia temui, jika melihat proses pertaniannya belum maju. Manfaat lainnya
adalah untuk menjauhkan gengsi siswa dengan dunia pertanian dan peternakan,
karena ini juga bisa menjadi masalah serius, buktinya hasil survey pemerintah
bahwa ternyata yang paling kritis di negara kita saat ini bukan hanya persoalan
ekonomi dan energi melainkan pangan. Kita bisa temui di tempat belanja
buah-buah dan sayuran impor, ini membuktikan bahwa pertanian dinegara kita
mengalami penurunan, seiring berjalannya roda perindustrian. Nah dengan
pembelajaran kolaboratif diharapkan siswa yang tidak berkesempatan melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi bisa lebih aware akan pertanian dan pangan.
Mengakhiri
tulisan saya kali ini, saya berikan sebuah contoh sederhana tentang pentingnya
budaya kolaborasi dalam semua hal termasuk dunia pendidikan. Misalnya dalam permainan
sepak bola, sebuah klub yang memiliki pemain bintang tidak selamanya otomatis
keluar jadi juara dalam ajang kompetisi, hal itu dikarenakan para pemainnya
tidak bisa membangun sistem penyerangan, sistem pertahanan dan organisasi irama
permainan yang baik, sementara disisi lain, klub yang hanya dihuni oleh pemain
yang biasa-biasa saja, tidak terlalu menonjol mampu menampilkan dirinya sebagai
juara karena mereka mampu membangun irama kolaborasi yang baik dan efektif, pun
dalam membangun sistem pendidikan kita, irama parsialisasi, irama dikotomi,
irama beda kamar saya kira sudah bukan jamannya untuk terus dipertahakan,
mengingat era informasi ini mengharuskan kita selalu berkolaborasi, bahasa
agamanya adalah berjama’ah.
Barangkali
itu yang bisa saya share saat ini semoga
bermanfaat, yang mau diskus boleh via email ncislam4ever@gmail.com atau via
twitter @encesurahman. Go collaboration :D (EnSu_Selasa_16-9-14)
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,