Oleh : Ence Surahman, S.Pd
Dipertengahan bulan September, saya berkesempatan untuk
bertemu dengan Prof. Stefano Tsukamoto dari Osaka University Jepang dalam
sebuah seminar singkat yang diadakan oleh Program Pasca Sarjana Universitas
Negeri Yogyakarta. Sang profesor sedang berada di Yogyakarta untuk kepentingan
penelitian berkaitan dengan pengelolaan manusia pasca bencana gunung merapi.
Dan memang profesor ini sangat konsen pada bidang human centered disaster management, bahkan dalam profil yang
ditampilkannya beliau sering mengunjungi tempat-tempat rawan, baik yang
dikarenakan oleh bencana alam maupun akibat konflik, perang dan sejenisnya.
Saya belajar satu hal penting dari beliau tentang rasa
kepedulian yang tinggi kepada sesama yang sedang mengalami kesulitan. Selain
itu saya belajar hal yang lain,yakni keinginan yang tinggi untuk membawa harum
nama baik bangsa dan negaranya. Kita tahu Jepang adalah sebuah negara maju
dalam berbagai bidangnya, bukan hanya bidang teknologi, melainkan pendidikan,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan negara, inovasi, penelitian, temuan baru
dan lain sebagainya. Sang Profesor tadi benar-benar menghabiskan banyak waktunya
untuk menjadi agen promosi keilmuan, temuan dari negaranya, tentu dengan
kesibukannya itu, waktu beliau bertemu dengan mahasiswa di kampusnya lebih
sedikit dibanding profesor lain yang tidak melakukan apa yan beliau lakukan.
Namun itulah Jepang, selalu ingin dilihat dunia bahwa
negaranya negara yang maju, negara penemu, negara pembantu, negara yang layak
untuk ditiru, bahkan dalam kisahnya beliau pernah mengajarkan penduduk sebuah
kota yang telah luluh lantah akibat bencana, ditengah kesemarutannya itu, ketika
penduduk setempat tidak peduli dengan kesemerawutan kotanya, beliau dna timnya
melakukan langkah praktis, yakni gotong royong membersihkan puing-puing kota
hingga menjadi rapi, dan karenanya penduduk kota tersebut malu lalu ikut
bersama-sama menata kembali kotanya dan menjaganya dikemudian agar tetap rapi.
Masih tentang Jepang, kemarin siang (18-10-2014) saya mengikuti acara dialog anti plagiat dan
penulisan karya ilmiah yang diselenggarakan oleh rekan-rekan Keluarga Mahasiswa
Pasca Sarjana UNY, salah satu pembicaranya yakni Prof.Dr. Marsigit, menampilkan
beberapa foto proses ujian sertifikasi guru di Jepang. Dalam foto yang
ditampilkannya seorang guru mempertunjukan cara ia mengajar dihadapan ratusan
peneliti, guru, dosen, profesor, orang tua, politisi, pemerintah baik dari
Jepang dan tamu dari negara lain.
Dalam foto itu dilaksanakan disebuah gedung, salah satu
bagiannya disetting sebagaimana halnya kelas, lengkap dengan fasilitasnya, guru
yang akan diuji melakukan proses pembelajaran dari awal hingga akhir sambil
dilihat oleh ratusan orang yang hadir yang bertindak sebagai penilai. Setelah
proses pembelajaran selesai beberapa perwakilan dari hadirin diberikan kesempatan untuk bertanya
dan mengkritisi proses pembelajaran yang dilakukannya.
Satu hal penting yang saya ambil adalah para guru di
Jepang, sangat ingin mendapatkan kepercayaan publik tentang kualitas proses
pembelajarannya. Mereka ingin dunia tahu bahwa dirinya layak menjadi guru,
dirinya memiliki kompetensi untuk menjadi guru. Bahkan dirinya layak
mendapatkan gelar sebagai guru profesional. Itu yang terpenting yakni adanya
kepercayaan publik pada dirinya bahwa dirinya adalah seorang guru profesional
dan dengan begitu para orang tua tidak perlu ragu untuk menyekolahkan anaknya,
karena gurunya kompeten untuk mengajari anak-anaknya.
Saya kira di Indonesia sampai hari ini, saya belum
pernah mendengar bahkan melihat secara langsung proses pembelajaran yang disaksikan dan diuji oleh orang yang
sangat banyak dari berbagai latarbelakang. Saya pikir jika proses ujian
sertifikasi guru dilakukan seperti di Jepang, maka saya punya hipothesis, bahwa
kualitas guru di Indonesia akan bagus dan dengan begitu kualitas pendidikan
kitapun akan maju.
Barangkali kedua cerita diatas kiranya penting untuk
dijadikan bahan renungan, khususnya bagi kita yang sedang menjalani proses
pendidikan menjadi seorang pendidik, ataupun bagi anda yang saat ini sudah
bertindak sebagai pendidik baik guru, maupun dosen. Harapannya jangan sampai
kompetensi kita dalam bidang yang kita geluti itu tidak teruji. Maka salah satu
caranya adalah munculkan karakter dan mental jago tandang bukan hanya jago
kandang. Sederhananya berapa persen guru, dosen, doktor, profesor di Indonesia
yang memiliki mental seperti Prof. Dan guru-guru di Jepang? Jika masih belum
ada, berarti itulah kondisinya yang harus segera direvolusi oleh para pendatang
baru yang berhasrat untuk membangun kultur jago tandang bukan jago kandang.
Lalu bagaimana cara membangun kultur jago tandang?
Pertama perluas pergaluan akademik, baik dalam dunia nyata maupun dunia maya,
perbanyak informasi tentang perkembangan ilmu dan pendidikan di negara lain.
Kedua asah kemampuan meneliti, ini penting karena salah satu kewajiban seorang
pendidik itu adalah melakukan penelitian, ketiga pertajam kemampuan menulis
karya ilmiah, baik makalah, jurnal ilmiah, maupun artikel ilmiah, keempat ikuti
seminar dan forum ilmiah didalam dan luar negeri yang berskala internasional,
kalau ada rizki kita bisa sebagai peserta, kemudian berikutnya kita harus
menjadi pembicara, dengan cara mengajukan paper kita untuk bisa dipersentasikan
disana. Keenam perbanyak menulis buku dan buat pula yang versi bahasa asingnya,
selian buku masih banyak dalam bentuk yang lain, semisal modul, tutorial, video
pembelajaran, animasi, perangkat pembelajaran yang dialih bahasakan agar orang
dari negara lain bisa memahami bagaimana proses pendidikan di negara kita. Wallahu’alam.
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,