Oleh : Ence
Surahman, S.Pd
Pembaca yang
budiman, semoga yang menjalankan ibadah puasa diberikan kelancaran dan
kesehatan sehingga bisa memaksimalkan setiap peluang ibadah dibulan yang mulia
ini. Kali ini saya mau berbagi tentang sesuatu yang istimewa dan kadang jadi
bahasan cukup menarik dibeberapa kalangan, ialah cinta. Saya bukan pakar cinta
dan buka sastrawan peminat topik cinta, saya hanya perenung yang terus berupaya
mencari hikmah yang berserakan disetiap cerita dan suasana.
Dalam pandangan
saya, cinta itu bukan tentang rupa, harta maupun tahta. Saya kira para pembaca
juga demikian. Cinta itu kenyamanan hati. Bagaimana saya bisa menyimpulkan
demikian? Coba kita lihat fakta disekitar kita, jika cinta itu rupa,
lalu mengapa banyak orang yang mau menikah dengan pasangan yang menurut kasat
mata tidak berimbang, ada yang istrinya cantik jelita, suaminya biasa saja
bahkan sudah usia senja, ada yang suaminya masih muda gagah perkasa, menikah
dengan istrinya yang berparas sederhana dan tidak lagi muda. Jika cinta itu
rupa, mengapa ada yang bersedia menikah dengan pasangannya yang tuna rungu,
tuna wicara bahkan tuna daksa?
Lalu jika cinta
itu harta, mengapa ada anak pejabat yang kaya raya memilih pasangan kalangan
bawah? Mengapa seorang pangeran memilih pasangan dari keluarga sederhana? Mengapa
suami istri bertahan tinggal digubuk reyot bahkan tempat tinggal beratapkan
langit dan bintang? Dan apabila cinta itu tahta mengapa banyak orang yang
akhirnya berpisah ketika pasangannya sudah naik jabatan, terpilih sebagai
anggota dewan, pimpinan perusahaan dan semacamnya?
Di sisi
yang lain, mengapa ada pasangan yang terlihat begitu bahagia, hidup harmonis,
romatis, sekalipun dalam kondisi serba kekurangan? Tapi mereka pantang
mengeluh, pantang menjadi beban bagi orang lain? Mereka dengan tegar menunjukan
kepada dunia bahwa “kamilah yang paling bahagia, apapun keadaannya”? kuncinya
satu, cinta itu adalah kenyamanan hati bukan rupa, harta maupun tahta.
Cinta dalam
dimensi yang lain juga demikian, seperti cinta pada pekerjaan, tempat belajar,
kampus, kota tempat tinggal baru, relasi bisnis, dan lain sebagainya? Sebagai contoh
saya termasuk orang yang mudah jatuh cinta ketika menjadi pendatang di
Yogyakarta kota istimewa. Tidak butuh waktu lebih dari 10 hari bagi saya untuk
jatuh cinta dengan kota ini. Tahukah alasannya kenapa? Karena saya merasa
nyaman, aman dan betah tinggal dijogja. Mungkin berbeda ceritanya jika saya
tinggal disebuah kota yang rawan pencurian, penjambretan, begal, teroris,
pembunuhan, dan lain sebagainya.
Kembali kepembahasan
diatas, mari kita renungkan sejenak, apa yang membuat Siti Hajar ikhlas
ditinggal jauh oleh Nabi Ibrahim a.s pada saat ia mengandung dipadang pasir
yang tandus, gersang dan tanpa ada perkampungan yang bisa dijadikan tempat
meminta tolong? Dan baru kemudian ditemuinya lagi setelah sekian tahun, namun
kualitas cinta mereka tetap terjaga tidak kurang satu apapun? Jawabannya karena
hati-hati mereka ada yang memastikan merasa nyaman satu sama lain. Inilah kunci
penting yang hendak saya sampaikan lewat tulisan ini. Bahwa dalam membangun
relasi, agar suasanya kenyamanan dan harmoni itu senantiasa terjaga, maka satu
hal yang jangan dilupakan, yakni kedekatan dengan Sang Pemilik dan Pembolak Balik hati. Kita pasrahkan padaNya agar hati orang-orang yang kita cintai
senantiasa merasa nyaman dengan kita apapun kondisinya. Kita minta padaNya agar kita sendiri dikuatkan untuk senantiasa
menjaga kualitas cinta kita pada orang-orang tercinta, baik kepada istri,
suami, orang tua, anak-anak, tentu dengan ikhtiar lahiriyah yang akan menuju ke
arah sana. Kuncinya adalah kualitas kedekatan kita dengan sang pemilik dan
pembolak balik hati, karena ketika hubungan kita denganNya baik, maka idealnya
hubungan kita dengan sesama manusia juga baik, namun jika hubungan kita
dengannya tidak baik, maka sangat mungkin hubungan kita dengan manusia juga
demikian. Wallahu’alam bishowab..
Namun ada sebagian pendapat jika mencari pendamping itu harus sekufu, baik dari segi harta, tahta, keturunan, rupa, dan agama. Karena supaya satu sama lain bisa saling menyeimbangkan, nggak ada yang merasa minder dan tinggi hati. Ada benarnya jika dilihat dari sudut pandang tertentu. Tapi yang jelas, ikhlaskan saja jika ditolak karena kurang cantik/tampan, ikhlaskan saja jika ditinggal karena kurang kaya, ikhlaskan saja jika ditinggal karena bukan dari keluarga bangsawan, tapi harus introspeksi jika ditinggal karena agama. Berarti betapa kurangnya agama yang kita miliki sehingga orang saleh/salihah sampai meninggalkan kita. betul nggak kang ence?? Heheh
BalasHapusSubhanallah leres pisan. haturnuhun teh
BalasHapusbahasanya runtut dan mudah dipahami. izin share kang
BalasHapus