Oleh
: Ence Surahman, S.Pd
Tulisan
ini ditulis beberapa hari selepas mencuatnya isu Ronny Setiawan Ketua BEM UNJ
yang status drop outnya dicabut
kembali oleh rektornya setelah opini publik mengalir deras dalam bentuk
dukungan moril kepada Ronny. Bahkan tanpa paham duduk masalah yang sesungguhnya
mayoritas publik terutama mahasiswa aktivis dikampusnya masing-masing ikut
meneriakan dukungan dengan cara menyebarluaskan broadcast via instan messaging, sosial media, hingga penandatanganan
petisi online melalui situs
change.or.id. Tidak hanya itu, kasus Ronny
sampai mengundang dukungan dari anggota DPR RI yang juga mantan aktivis gerakan
reformasi 98 Fakhri Hamzah, dan dengan senjata hastag #SaveRony di sosial media
twiiter yang dalam waktu beberapa jam langsung menjadi trending topic.
Walaupun
banyak kalangan yang menyayangkan ending
dari kisahnya yang anti klimaks, namun fenonema itu mencerminkan sesuatu yang
cukup jelas tentang sebuah ketimpangan yang entah didasari atas ketidaksadaran
atau kekurangsensitifan dari publik Indonesia khususnya para mahasiswa dan kaum
intelektual bangsa. Mengapa saya katakan demikian? Kebetulan saat ini saya
tergabung dalam relawan kanker yang terhimpun dalam komunitas survivors
berbagai jenis kanker di Indonesa yang sedang meneriakan sebuah perjuangan atas
dasar harapan. Melaui akun sosial media twitter dengan nama @tamanlevernder dan
melalui akun facebook fanspagenya, kami sama-sama menyuarakan sebuah wacana
publik agar temuan Dr. Warsito berupa temuan ECVT dan ECCT yang sempat
dibekukan oleh pihak dari kemenkes pada tanggal 3 Desember 2015 lalu. Tujuannya
agar kebijakan pembekuan temuan anak bangsa ini segera dicabut kembali sehingga
para penderita kanker dapat kembali menggunakan peralatan tersebut.
Sudah
lebih dari 4 kisah dan testimony dari pengguna yang dishare melalui akun sosial
media atas nama komunitas taman lavender, bahkan ada juga testimoni dalam
format video disebarluaskan. Hasilnya sangat jauh berbeda dengan isu Ronny yang
sangat fenomenal. Sebagaimana sumber dari admin Aliansi Mahasiswa UNJ bersatu
yang manyatakan bahwa dalam waktu beberapa jam dukungan yang terkumpul dalam
bentuk paraf online sudah mencapai
angka 50.000 dukungan, sementara petisi dukungan untuk temuan ilmuwan sekaliber
Dr. Warsito yang telah diakui oleh dunia dalam waktu 5-6 hari belum mencapai
10.000 petisi yang menandatangani.
Kedua
perbandingan persepsi publik mengenai kedua isu di atas memang terlalu dini
untuk digeneralisir sampai membandingkan antara ranah syiasyi dan ilmy, barangkali
lebih tepat dengan sebutan isu sosial politik dan inteleksual humanis. Ketimpangan
antara sensitivas persepsi publik tersebut barangkali dipengaruhi oleh banyak
faktor disamping muatan inti dari kedua isunya. Selain itu isu tentang perjuangan
mahasiswa cenderung lebih mudah mendapat dukungan serupa dari sesama mahasiswa
yang memiliki rasa senasib sepenanggungan atas nama mahasiswa. Terlebih ketika
subjek yang mendapat perlakuan tidak adil dari pihak penguasa adalah sosok
aktivis yang memiliki kredibilitas dikomunitas dan jaringannya.
Namun
apabila kita bandingkan, secara substantif kedua isu tersebut memiliki kadar isu
yang tidak jauh berbeda, bahkan keduanya memiliki banyak persamaan dari pada
perbedaannya. Pertama sama-sama isu menyangkut nasib hidup seserorang dan memiliki
arti penting untuk pembelajaran serupa yang lebih luas. Kedua, baik temuan ECCT
dan ECVT Dr Warsito maupun isu Ronny sempat mengalami masa-masa fenomenal,
temuan ECCT dan ECVT Dr. Warsito sudah beberapa kali masuk dan diundang dalam
acara-acara televisi dan dalam forum-forum seminar baik di dalam maupun di luar
negeri. Kasus Ronny walaupun baru sebentar masuk media, namun memiliki efect
yang sangat tinggi sehingga menggiring pihak-pihak tertentu berempati terhadapnya.
Ketiga,
secara kasarnya hak-hak Ronny sebagai mahasiswa dijegal dan sempat di cabut
oleh Rektornya karena konon dianggap terlalu kritis dengan
kebijakan-kebijakannya, sedangkan ECCT Dr Warsito bahasa kasarnya sempat dijegal
eksistensinya oleh pihak kementerian kesehatan dengan pada tanggal 3 Desember
2015 (sebelum akhirnya diijinkan kembali setelah pertemuan tiga pihak antara
kemenkes, kemenristek dikti dan pihak Ctech Lab pada hari Senin, 11 Januari 2016)
kemarin. Keempat, keduanya memiliki tim pendukung, Ronny dapat dukungan dari
sesama aktivis dan mantan aktivis pergerakan mahasiswa, sedangkan ECCT dan ECVT
mendapat dukungan dari para penderita, keluarga, kerabat dan orang-orang yang
memiliki kepedulian yang tinggi akan bahaya kanker bagi pada korbannya. Barangkali
letak perbedaannya, Ronny adalah civitas akademika yang berstatus mahasiswa dan
belum menjalankan perannya sebagai ilmuan dan atau profesi yang sedang
dipelajarinya. Sedangkan Dr warsito statusnya sudah menjadi seorang ilmuwan dan
sudah memiliki peran penting dala sejarah pembangunan dunia kelimuan SDM
Indonesia melalui organisasi Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia bahkan
telah menurunkannya pada level mahasiswa melalui organisasi MITI KM.
Dari
sekian banyak kesamaan diantaranya kedua isu tersebut , muncul pertanyaan sederhana mengapa persepsi
publik jauh lebih sensitif dalam berempati pada kasus Ronny di DO dari pada
temuan Ilmuwan berupa ECCT dan ECVT yang sempat dihentikan oleh pemerintah -sekali
lagi sebelum tanggal 11 Januari 2016. Apakah
ini dapat menjadi tolok ukur tentang takaran mengenai sensitivitas persepsi
publik tentang sosial politik dan intelektual atau lebih khusus dalam sebutan syiasyi dan ilmy? Wallahu’alam, karena untuk membuktikannya menjadi kebenaran umum (common sense) apalagi kebenaran empiris
diperlukan beberapa upaya eksperimen lebih lanjut yang serupa untuk mengukur
perbedaan sensitivitas keduanya. (Yogyakarta, 11 Januari 2016).
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,