Pembaca yang
budiman, tulisan ini saya buat tepat ketika saya baru saja mengetahui hasil
pengumuman seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) sebagai dosen
di Program Studi Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Malang, Senin, 11 Desember 2017. Tulisan ini dibuat bukan dalam rangka
pamer kelulusan saya dalam seleksi CPNS, melainkan untuk berbagi pengalaman
kepada para pembaca yang barangkali ada pelajaran yang dapat dipetik dari
pengalaman yang saya tuangkan dalam tulisan ini.
Sesuai judul
yang saya tulis, inti dari tulisan ini sudah dapat ditebak oleh para pembaca
yang budiman yakni seputar kebaikan yang hadir dikarenakan kesungguhan dalam
berusaha atau yang saya sebut dengan istilah barokah mujahadah. Secara bahasa muhadah berarti perang dan menurut
syara’ dimaknai perang dengan musuh-musuh Allah, adapun makna yang saya maksud
adalah tentang kesungguhan jiwa dalam berusaha dan berjuang mencapai sebuah
impian atau mewujudkan cita-cita.
Barangkali pengalaman
yang akan saya ceritakan belum seberapa heroik dibandingkan dengan kisah dan
pengalaman para pembaca yang budiman, namun bagi saya pribadi pengalaman yang
sudah dijalani sangat penuh dengan kejutan yang tidak terduga. Itulah mengapa
saya tidak dapat menahan hati untuk membagikannya semoga menjadi inspirasi bagi
pembaca yang merasa ada kesamaan kondisi dan potensi dengan sebagian cerita
saya.
Sebagai anak
desa yang nan jauh dari perkotaan, jangankan bisa menjadi dosen di perguruan
tinggi negeri, untuk dapat berkesempatan kuliah apalagi sampai jenjang
pascasarjana saja sudah menjadi prestasi tersendiri. Saya berasal dari kampung
yang cukup terbelakang dalam beberapa hal baik dari infrastruktur akses jalan,
sarana informasi apalagi akses dan sarana lain sebagaimana diperkotaan. Masa kecil
saya habis dengan bermain di sawah, menyabit rumput, mengembala domba, mencari
kayu bakar, mandi di sungai, mencari ikan belut di sawah, bermain layang-layang
dan aneka permainan anak desa lainnya. Itulah kegiatan harian di samping
belajar di sekolah dan mengaji di masjid kampung.
Sampai saat ini,
Saya adalah satu-satunya teman sekelas waktu SD yang berkesempatan untuk
menikmati pendidikan hingga pada jenjang pascasarjana. Hal itu bukan karena
saya berasal dari keluarga yang kaya atau keluarga berpendidikan tinggi. Karena
ayah dan ibu saya hanya berkesempatan untuk mengenyam pendidikan sampai jenjang
SD. Keduanya berprofesi sebagaimana orang kampung pada umumnya. Mengelola sawah,
berladang, berkebun dan memelihara ternak domba. Rendahnya minat studi lanjut
masyarakat tidak lepas dari budaya masyarakat di desa saya yang belum
memprioritaskan pendidikan sebagai kebutuhan, akhirnya kebanyakan pemuda desa
selepas lulus SMP atau SMA langsung mencari kerja. Tidak terkecuali kakak dan
adik kandung saya. Kakak saya menikah selepas lulus MTs dan adik saya memilih
untuk bekerja di pabrik sawit selepas lulus SMA. Sudah sempat saya bujuk untuk
mencoba daftar kuliah namun tidak berhasil.
Saya harus
banyak bersyukur kepada Allah karena diberikan tingkat percaya diri yang tinggi
dalam belajar dan berkompetisi pada semua jenjang pendidikan yang saya tempuh. Sekalipun
saya dari kampung namun motivasi saya untuk maju dan unggul dalam semua level
seolah sudah mendarahdaging dalam diri saya. Hal itu terbukti dari prestasi
akademik saya yang selalu membanggakan kedua orang tua saya. Sejak SD kelas 1
sampai lulus SMA alhamdulillah saya selalu juara 1 kecuali pada caturwulan 1
kelas III SD. Saat itu saya pernah satu kali juara 2.
Sewaktu kuliah
S1 di Program Studi Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung 2008-2013. Alhamdullah saya berhasil menorehkan
beberapa catatan prestasi yang baik, seperti pernah menjadi Juara 1 ajang
pemilihan mahasiswa berprestasi UPI tahun 2011. Di samping itu pernah menjadi
lulusan terbaik 1 di jurusan dengan IPK 3,83 (tertinggi seangkatan) dan dengan
predikat cumloude. Begitu pula pada waktu menempuh jenjang studi S2, saya
berhasil menjadi lulusan pertama dari satu angkatan dengan predikat cumloude.
Namun yang
tidak kalah menarik adalah nikmat Allah yang senantiasa memberikan bimbingan
kepada saya agar dapat seimbang dalam aktivitas akademik dan non akademik. Dalam
setiap jenjang pendidikan yang saya tempuh selalu saya sibukkan dengan
aktivitas di organisasi. Sebagai contoh waktu SD saya menjadi ketua kelas dan
ketua murid (semacam ketua OSIS). Waktu SMP dan SMA saya menjabat sebagai ketua
OSIS juga aktif dibeberapa ekskul lainnya seperti PMR, PRAMUKA, PASKIBRA,
PECINTA ALAM, olahraga, beladiri dan lain-lain.
Sewaktu kuliah
S1 juga saya aktif di himpunan, kemudian pernah menjabat sebagai Ketua Umum
Program Tutorial Pendidikan Agama Islam Mata Kuliah Dasar Umum (PAI MKDU)
Universitas Pendidikan Indonesia. Waktu kuliah S2 tahun pertama diamanahi
sebagai Ketua Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) Universitas Negeri
Yogyakarta tahun 2015. Tahun kedua mendapat amanah yang lebih besar lagi yakni
sebagai Ketua Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa (MITI
KM) 2016.
Kadang saya
sendiri juga berpikir bagaimana bisa semua itu berjalan beriringan, sedangkan
tidak sedikit teman saya yang kadang kurang dapat menyeimbangkan antara
akademik dan non akademik. Tentu jika dipikirkan lebih jauh hal itu tidak lepas
dari nikmat Allah yang sebagiannya diturunkan melalui doa, petuah, arahan,
motivasi orang tua, keluarga, guru-guru, dosen, pembimbing, dan teman-teman di
sekitar. Bagi saya semua orang di sekitar saya berpengaruh terhadap diri saya,
dan bagaimana saya memperlakukan lingkungan saya juga sangat berdampak pada
bagaimana saya saat ini.
Saya sangat
berhutang budi kepada orang tua saya yang mendidik dengan disiplin yang tinggi,
kami waktu kecil kalau mau dapat uang harus bekerja dulu apakah nyabit rumput,
nyari kayu bakar, atau bawa hasil panen dari sawah. Disiplin dan sikap kerja
keras itu yang kemudian menyatu dengan jiwa dan terbawa sampai waktu kuliah dan
sampai saat ini. Begitu pula bagaimana guru-guru saya mendidik di sekolah dan
di luar sekolah, semuanya sangat berdampak pada pengembangan kepribadian saya
hari ini. Walaupun saya selalu juara satu bukan berarti saya tidak pernah
dijewer guru. Waktu kelas 2 SD saya pernah di jewer wali kelas gara-gara
membuat nangis anak kepala sekolah. Waktu SMP pernah dihukum jalang jongkok dan
push up gara-gara telat sampai sekolah (maklum jalan dari rumah ke sekolah
sekitar 9 KM) dan kadang kendaraan umum yang ditumpangi sering lama menunggu
penumpang. Begitupula waktu SMA saya pernah ditempeleng oleh guru olahraga
gara-gara tidak menggunakan celana seragam olahraga pada waktu jadwal olahraga
(waktu itu celananya dipinjam teman dan tidak dikembalikan). Juga pernah
ditempeleng pembina paskibra gara-gara tikda fokus ketika latihan PBBAB. Semua itu
saya jadikan sebagai bentuk umpan balik atas kekurangan saya yang harus saya
perbaiki. Dan saya selalu memegang satu prinsip yakni tidak mengulangi
kesalahan yang sama. Jadi kalau hari ini saya salah, maka besok dan seterusnya
tidak boleh salah lagi.
Di samping
beberapa hal pahit tersebut, tentu banyak juga pengalaman manis yang menjadi
bukti kesungguhan dalam perjalanan belajar saya. Contohnya pengalaman dipercaya
sebagai delegasi peserta olimpiade Matematika waktu SD, SMP, peserta olimpiade
waktu SMA, dan pernah dijuluki Profesor oleh Guru Matematika waktu SMA kelas XI
gara-gara berhasil memecahkan rumus yang tidak terpecahkan oleh teman-teman
yang lain. Itu sebagian kenangan manis di samping momentum ketika mendapat
hadiah juara 1 setiap kenaikan kelas.
Tapi point
yang hendak saya sampaikan bukan tentang gambaran hasil yang saya ceritakan,
melainkan bagaimana hasil itu bisa diraih? Menurut saya ini jauh lebih penting
saya sampaikan kepada para pembaca yang budiman. Dari kecil saya tidak tahu
apakah IQ saya tinggi sehingga saya selalu juara kelas. Memang waktu SD kelas 1
ketika teman-teman yang lain masih mengeja satu paragraf tulisan guru di papan
tulis. Saya sudah bisa menghapalnya dalam beberapa menit. Begitu pula dengan
perkalian dan kecepatan menulis. Tapi menurut saya, hal yang paling membedakan
saya dengan yang lain adalah sikap bersungguh-sungguh dalam belajar. Ketika
saya sedang belajar, maka saya akan fokus pada apa yang saya pelajari. Pernah
beberapa kali saya keluar kelas sengaja terlambat hanya karena saya merasa
belum memahami materi yang guru ajarkan. Siswa yang lain ketika bel berbunyi
tanda waktu pulang sudah tiba mereka langsung berkemas untuk pulang. Saya sering
menyengaja keluar terlambar untuk membaca materi, mengerjakan ulang soal
latihan agar benar-benar dapat menguasai materi. Di samping itu setiap materi
yang hendak dipelajari di sekolah pasti sebelumnya pernah saya baca walaupun
sepintas.
Sekarang saya
memahami teorinya, salah satunya teori mastery learning, yang salah satunya
menerangkan bahwa pada dasarnya semua murid dapat menguasai setiap materi yang
diajarkan, hanya yang berbeda adalah kecepatan masing-masing dalam
menguasainya. Ada murid yang dapat menguasai dalam beberapa menit, beberapa
jam, beberapa hari bahkan ada yang baru memahami ketika sudah naik kelas. Dengan
begitu ketekunan yang tinggi dalam belajar akan berpengaruh terhadap percepatan
penguasaan materi yang dipelajari.
Ketekunan
dalam belajar sewaktu kecil, alhamdulillah terbawa hingga saat ini, saya bukan
orang yang cepat puas dalam mempelajari sesuatu, rasa ingin tahu saya selalu
lebih tinggi dari waktu yang saya miliki untuk menguasai hal tersebut. Saya selalu
bertanya, bertanya dan terus bertanya hingga saya menemukan jawaban. Walaupun suatu
waktu jawaban tersebut kadang lupa lagi. Kemudian saya harus belajar lagi. Etos
belajar seperti ini kelihatannya tidak semua orang memilikinya. Yakni etos
belajar yang tidak cepat puas dan selalu ingin mencoba hal baru yang lebih
menantang.
Pengalaman waktu
bergabung dengan Ekskul Kelompok Adat Pecinta Alam (KAPA) di SMA sangat
membantu saya untuk berani berkelana dalam hidup. Saya selalu yakin di mana pun
saya berada saya harus selalu belajar untuk dapat beradaptasi. Karena di
pecinta alam kita diajarkan praktik sosiologi dan antropologi masyarakat. Hal itu
pula yang mendorong saya berani meninggalkan kampung halaman untuk belajar.
Sewaktu saya kuliah S2 di Yogyarkata. Orang-orang di kampung pada heran untuk
apa kuliah jauh-jauh, terus bagaimana kalau sakit, siapa yang ngurus dan
lain-lain. bagi saya di mana pun saya berada maka orang-orang disekitar saya
adalah keluarga saya.
Di samping itu
di pecinta alam kami diajari tentang teknik bertahan hidup (survival). Biasanya
materi ini kami praktikkan di hutan, namun ternyata polanya bisa juga diterapkan
diperkotaan. Salah satu teknik agar saya dapat meminimalisir pengeluaran
sewaktu kuliah adalah dengan teknik mutualisme dengan masjid. Saya menjadi
takmir masjid dan saya bisa tinggal di ruang takmir sehingga biaya kostannya
tidak ada. Hal itu saya lakukan dari SMP, SMA, S1 dan S2. Sebagian cerita ini
pernah saya ceritakan dalam tulisan pada bulan agustus 2016. Rupanya kebiasaan
saya nyaman tinggal di masjid penyebabnya adalah karena waktu mengaji di
kampung setelah pulang ngaji bada isya kami tidak pulang ke rumah melainkan
tidur bergeletak di masjid agar shalat subuhnya tidak kesiangan.
Point berikut
dalam konsep barokah mujahadah adalah pola hidup efisien baik dalam hal
penggunaan materi (uang), waktu, sumber daya yang dimiliki dan efektif dalam
pemanfaatannya. Banyak orang yang sering gagal dalam mencapai target-target
kecil dalam hidupnya hanya karena manejemen aktivitasnya kurang baik. Manajemen
aktivitas erat kaitannya dengan pemahaman tentang manajemen prioritas. Ilmu ini
akan mudah dikuasi oleh mereka yang aktif dalam organisasi namun juga unggul
dalam prestasi akademik. Karena ilmunya pasti mereka terapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
Manajemen aktivitas
juga erat kaitannya dengan manajemen waktu. Dan kualitas manajemen waktu
seseorang sangat dipengaruhi oleh kedisiplinannya dalam melaksanakan kewajiban
sehari-hari. Indikator sederhananya adalah komitmen dalam melaksanakan shalat
fardu lima waktu tepat waktu dan berjamaah bagi laki-laki. Ketika orang sudah istiqomah
dalam hal itu maka insyaAllah urusan lainnya juga akan lebih teratur. Sehingga kalau
kita sering merasa target-targetnya berserakkan, hal pertama yang harus dievaluasi
adalah shalat lima waktunya. Baru setelah itu mengoreksi hal-hal lainnya.
Yang terakhir
adalah formula untuk meraih mimpi selain dengan belajar sungguh-sungguh,
kemudian kerja keras, disiplin tinggi, perbaiki hubungan dengan manusia,
lingkungan dan Allah. Allah itu Maha Kuasa, Maha Pemberi, maka mintalah, jangan
sungkan untuk meminta kepadaNya, berdoa pada waktu-waktu yang mustajab doa,
kemudian bernadzar dengan hal-hal yang dibenaran syari’at juga dapat dilakukan.
Maka dengan mujahadah karena Allah insyaAllah hajat kita akan diberikan
kebarokahan yakni berupa kebaikan-kebaikan atas apa yang kita ikhtiarkan. Wallahu’alam bishowab.
Malang, 11 Desember 2017
Pembelajar sepanjang usia
@encesurahman
selamat ya mas, tesnya lolos, semoga bisa ketularan nantinya ^_^
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus