Pembaca yang budiman, tulisan ini akan mengantarkan Anda pada kenangan saya waktu masih SMA (2005-2008). Saya sekolah di SMAN Negeri 1 Talegong Garut yang kemudian berganti nama menjadi SMAN 21 Garut (karena berdiri pada urutan ke-21 sepertinya), dan juga berdiri tepat di awal abad-21 tepatnya tahun 2002 (kalau tidak salah). SMA ini berada di Jl. Panorama Cibungur Kec. Talegong Kab. Garut Jawa Barat. Alamat lengkapnya di Maps dapat dilihat pada tautan ini.
Tulisan ini tidak akan mengisahkan tentang pengalaman belajarnya, maupun drama putih abunya, namun sedikit cerita tentang ilmu bertahan hidup (agak lebay sepertinya haha). Rumah saya cukup jauh dari sekolah, makanya sejak SMP sudah menjadi kontraktor (tukang ngontrak, atau anak kost). Begitupun waktu di SMA. Tahun pertama dan kedua sempat ngekost di salah satu rumah warga dekat sekolah. Tahun ke tiga (kalau tidak salah) diberikan ijin pihak sekolah untuk menempati masjid sekolah, tugasnya ya biar masjid tidak sepi, ada yang adzan, shalat, dan bersih-bersih. Kebetulan di masjid ada dua ruangan kosong yang bisa dijadikan tempat menyimpan pakaian dan tas, sedangkan tempat tidur kadang kami tidur ditengah masjid berlasankan sajadah (pengalaman ini juga pernah saya rasakan mondok waktu SD, dan ketika SMP kelas IX).
Saya menempati masjid bersama sekitar 6 teman saya kebanyakan yang rumahnya jauh dan tidak punya kendaraan untuk pulang pergi setiap hari. Alhasil kami ke sekolah hari Senin, pulang hari Sabtu, selebihnya tinggal di sekolah. Setiap Senin kami membawa bekal untuk selama satu minggu, biasanya beras 2 liter, kadang bawa ikan asin, baca cabe cenget, sayuran seperti labu China, kangkung, kol, pete, tempe, cabe gombol, wortel, kacang, dan lain-lain (menyesuaikan dengan yang dimiliki di rumah).
Namun, walaupun kami bawa stok makanan, rata-rata semua sayur dan lauk serta lalapan hanya bertahan sampai hari Rabu atau Kamis. Mungkin penyebabnya karena makannya terlalu banyak, atau bekalnya terlalu sedikit haha. Biasanya Kamis-Sabtu yang tersisa tinggal beras, dan cabe cengek untuk bahan membuat sambal. Pada saat itulah insting bertahan hidup kami bekerja. Biasanya kami tanya teman kelas yang rumahnya dekat dari sekolah yang punya kebun. Jika diijinkan kami silaturahim sepulang sekolah sekaligus minta lalapan dan sayuran untuk kami jadikan teman nasi dan sambal.
Ketika itu tidak kami dapatkan, kami terbiasa makan dengan kerupuk, dan lalapan Kamanilan yang tumbuh di pinggir masjid yang kami tempati. Jadi biasanya kami makan di teras masjid, terus sambil metik daun kamanilan (tanpa dicuci -jangan ditiru!). Mungkin pembaca tidak tahu bagaimana jenisnya. Saya barusan searching ternyata dijual di Tokopedia. Gambarnya seperti berikut.
Mungkin pembaca bertanya-tanya, mengapa sampai harus makan daun liar seperti itu? ya tentu jawabannya karena kami tidak punya uang lebih dari yang kami miliki. Biasanya ini terjadi ketika bekal uang sudah habis, tinggal sejumlah uang untuk ongkos pulang. Saya masih ingat, setiap minggu kami dirata-rata dibekali uang antara 20-30 ribu. Biasanya patokannya untuk ongkos naik mobil PP 2.000, selebihnya kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan harian seperti garam, mecin, minyak kelapa, dan minyak tanah untuk masak satu minggu. Bagaimana dengan jajan? ya sesekali jajan sekaligus makan. Artinya jajanan yang dibeli harus memenuhi syarat bisa dijadikan teman nasi, seperti mie rebus, bakso ikan, gorengan, dan kerupuk (ini mainstream banget untuk anak kostan saat itu).
Tapi apapun itu, kami bersyukur, kami tetap sehat, masih bisa belajar dengan semangat, ikut ekskul, dan mungkin itulah pengalaman penting dalam hidup selain belajar di kelas, yang membuat kami saat ini lebih survive dalam hidup. Saya masih intens berkomunikasi dengan teman-teman waktu itu, sekarang diantara kami ada yang menjadi guru, karyawan, ustadz, wirausahawan, dan dosen.
Pelajaran pentingnya adalah ilmu bertahan hidup. Ketika memiliki ilmu ini, maka dimana pun kita berada, kita bisa menyesuaikan standar hidup kita dengan kemampuan yang dimiliki. Jika pun diberi kelebihan rizki, maka lebih banyak bersyukur dan tidak lupa berbagi. Karena kami lahir dari lingkungan yang mengajarkan arti hidup hemat dan harus pandai mengelola keuangan. Pelajaran lainnya adalah sesulit apapun kondisi kita, maka jangan pernah tempuh jalan yang salah. Lebih baik puasa daripada harus mengambil yang bukan hak. Semoga cerita ini bermakna. Khususnya untuk adik-adik yang masih di SMP, SMA, maupun kuliah yang harus mengontrak, jauh dari keluarga, dengan bekal yang seadanya. Perbanyaklah bersyukur dengan apapun keadaan kita saat ini, karena ketika kita bisa melewati ujiannya, maka boleh jadi kita akan bertemu dengan bahagia dikemudian hari. Tetap semangat dan jangan putus asa.
Salam hangat dari Hsinchu, Taiwan, Senin, 18 Januari 2021 jam 17.06.
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,