Oleh : Ence Surahman, S.Pd
(Artikel ke-28 dari program one day one article selama Bulan
Ramadhan)
Sahabat para perindu ilmu pendamba
surga. Di edisi artikel yang ke-28 ini saya ingin berbagi mengenai sedikit
kegelisahan hati saya, dan saya berharap ketika saya membagikannya denagn para
pembaca yang budiman, berharap semoga kegelisahan itu sedikit demi sedikit
semakin menghilang dan berganti dengan kebahagiaan. Maka dari itu sebelum
memulai membaca sampai tuntas tulisan ini saya ingin dan meminta dengan sangat,
agar para pembaca terlebih dahulu mendo’akan saya agar dijauhkan dari rasa
gelisah gundah gulana dan hati saya senantiasa diliputi rasa bahagia, dan
ketika sahabat berdo’a demikian, maka saya do’akan semoga pada saat itu juga
Allah memberikan hal yang jauh lebih baik kepada sahabat dari do’a yang sahabat
panjatkan, aamiin.
Cerita kegelisahan itu berawal dari
hal-hal yang amat sepele dan berdampak pada hal-hal yang tidak bisa
disepelekan. Saya kira beberapa diantara pembaca ada yang sepakat bahwa
ternyata yang namanya rasa gelisah, gundah gulana itu muncul karena kita sering
menyepelekan bahkan menganggap tiada apa yang sesungguhnya sudah jelas-jelas
Allah karuniakan kepada kita berupa nikmatNya.
Misalnya kita merasa tidak diberikan
kecukupan rizki untuk kebutuhan sehari-hari, atau ketika pendapatan kita tidak
kunjung bertambah, sementara kebutuhan sehari-hari terus melonjak, apalagi
kalau kita memikirkan bagaimana cara untuk bisa mempunyai rumah, menikah,
membiayai anak dna istri, terlebih kalau anak kita sudah sekolah untuk
biayanya, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Intinya adalah ketika kita merasa
serba kekurangan karena terlalu melihat kita dengan cara membandingkannya
dengan orang yang diatas kita. Akibatnya kita tidak bersyukur, bahkan
na’udzubillah kalau sampai kita kufur terhadap nikmat Allah. Ini kunci
pertamanya. Dan kunci yang kedua mengapa hati kita gundah gulana hal itu
dikarenakan kita kurang atau bahkan tidak bersabar dengan apa yang terjadi
dengan diri kita.
Konon para ulama selalu
menyandingkan antara syukur dan sabar. Artinya jangan kita pisahkan kedua
akhlak baik itu, yakni syukur dan sabar, apapun keadaan yang sedang terjadi
dengan kita, baik itu positif/menyenangkan ataupun sebaliknya. Karena boleh
jadi dibalik hal yang kurang menyenangkan ada hal yang harus kita syukuri
berupa nikmat ujian, begitupun sebaliknya pada hal yang dianggap menyenangkan
dan membahagiakan juga ada hal yang harus kita bersabar dengannya karena
khawatir hal itu membuat kita menjadi sombong, besar kepala dan lupa kepada
yang memberikan kebahagiaan tersebut.
Sekarang mari kita kembali pahami
ayat didalam al-qur’an surat Ibrahim ayat 7 yang terjemahannya kurang lebih “barangsiapa yang bersyukur kepada Allah,
maka Allah akan melipatgandakan pemberian nikmatnya dan barangsiapa yang kufur
atas nikmat Allah, maka sungguh Adzab Allah itu amatlah pedih”. Ayat tersebut
menjadi kunci yang sangat jelas dan tidak ada kerancuang didalamnya.
Inti dari ayat tersebut adalah,
kalau mau ditambah kenikmatannya, maka syaratnya harus bersyukur! Dan kalau
kita tidak bersyukur atas nikmat yang ada, itu sebuah sinyal bahwa kita akan
menghadapi sesuatu yang jauh lebih berat dari yang sedang kita rasakan. Ingat
adzab yang amat pedih. Sederhana sekali bukan? Ini harus menjadi penguat asa
dalam jiwa kita, ketika kita merasa gundah, sedih, resah, galau dan sebagainya,
maka kunci keluar dari semua itu adalah sabar dan syukur atas apa yang sudah
Allah berikan, berikutnya kita meyakini bahwa Allah akan memberikan kenikmatan
yang berlipat ganda. Wallahu’alam
bishowab. Semoga bermanfaat. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,