Ence
Surahman
Sumber gambar
Salah satu sifat ilmu itu adalah
berkembang secara spiral terbuka (opened spiral), artinya dari sebuah ilmu yang
memiliki fokus garapan yang sempit kemudian meluas, melebar dan mendalam hingga
melahirkan disiplin-disiplin ilmu lainnya. Coba kita bayangkan bagaimana proses
pembelajaran yang terjadi sebelum masehi, kemudian bagaimana pula pada awal
abad 11 masehi. Tentu akan sangat berbeda dengan pembelajaran di abad 21 saat
ini. Apabila dahulu kala interaksi pembelajaran hanya melibatkan dua pihak
yakni pendidik dengan peserta didik. Sehingga pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan teacher active centered,
maka saat ini pendekannya berubah menjadi student
active centered.
Demikian pula dalam pengembangan bahan,
media dan sumber belajar, dahulu pendidiklah yang berperan sebagai sumber belajar, saat ini
sudah tidak demikian, sumber belajar adalah lingkungan di sekitar peserta
didik. Media pembelajaran dahulu barangkali masih sederhana dan berupa
media-media yang sesungguhnya. Dewasa kini sudah banyak berkembang media
pembelajaran yang tidak sesungguhnya, misalnya dalam bentuk gambar, animasi dan
peralatan edukatif. Apabila dahulu kala ketika guru hendak menunjukan bentuk
Gajah, maka guru mengajak peserta didik berkunjung ke kebun binatang, maka saat
ini cukup dengan diperlihatkan gambar, video maupun animasinya.
Begitupun bagaimana para pakar memandang proses belajar dan pembelajaran itu sendiri. Dahulu kala pembelajaran hanya dilihat dari dimensi pelaksanannya semata, namun sekarang sudah lebih berkembang bahwa untuk dapat melaksanakan proses pembelajaran yang optmimal maka setidaknya setiap pelaku kegiatan pembelajaran harus melewati minimal 3 tahapan, pertama tahap perencanaan, kedua pelaksanaan, dan ketika tahap evaluasi. Masing-masing tahap memiliki fokus garapan yang unik dan penting untuk diperhatikan. Seiring dengan perkembangan itulah disiplin ilmu desain pembelajaran muncul dan berkembang. Para pakar pendidikan memandang bahwa pembelajaran yang direncanakan akan lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran yang dilaksanakan tanpa perencanaan.
Definisi Instructional design
Instructional
design terdiri dari dua kata yakni
instruction dan design. Chou mendefinisikan instruction
is a systematic process that
involves teacher, learners, materials, and learning environment in order to
achieve successful and identified learning goals. Pembelajarn merupakan sebuah proses yang sistematis
melibatkan pendidik, bahan ajar, dan lingkungan pembelajaran agar dapat
mencapai tujuan pembelajaran secara optimal. Adapun design implies a
systematic or intensive planning and ideation process prior to the development
of something or the execution of some plan in order to solve a problem. Desain dimaknai sebuah perencanaan yang sistematis dan
intensif dalam rangka merancang dan mengembangkan prioritas proses dan
pengembangan sesuatu yang harus diselesaikan melalui beberapa perencanaan agar
dapat menyelesaikan permasalahan. Dengan demikian Smith & Ragan; 1999)
menjelaskan instructional design merupakan
proses yang sistematis dan reflektif dalam rangka menerjemahkan prinsip-prinsip
belajar dan pembelajaran ke dalam perencanaan bahan ajar, kegiatan
pembelajaran, sumber informasi dan evaluasi pembelajaran.
Kemudian yang menarik dari ilmu instructional design saat ini bukan lagi semata proses perencanaan pembelajaran, melainkan instructional design sudah menjari sebuah ilmu, kenyataan, dan proses itu sendiri. Lalu siapakah yang seharusnya memahami dan menguasai ilmu instructional design? Jawabannya hampir semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran harus dapat menguasainya, seperti manajer proyek pembelajaran, perancang pembelajaran, instruktur, trainer, fasilitator, ahli materi, pembuat atau pengembang program pembelajaran, desainer juga evaluator.
Sejarah perkembangan instructional design
Chou mengatakan bahwa ilmu instructional design mulai berkembang
sejak terjadinya perang dunia 2. Pada saat itu para pendidik dan psikolog
dikumpulkan untuk membuat rancangan program dan bahan training untuk para
anggota militer. Dari sana ilmu instructional
design kemudian berkembang lebih pesat dan pada tahun 1950an merupakan
tahap perkembangan awalnya yang ditandai dengan munculnya beberapa pakar dalam
bidang tersebut, sebut saja Skinner para tahun 1958 yang mulai mengembangkan
bahan pembelajaran terprogram. Walaupun saat itu demensi instructional desain
masih sangat sederhana, dimana pembelajaran mensyaratkan adanya respon yang
aktif terhadap pertanyaan yang diajukan pendidik kepada peserta didik.
Selanjutnya mulai berkembang tujuan perubahan perilaku pada peserta didik yang ditandai dengan munculnya gagasan Bloom tentang taksonomi capaian hasil pembelaran yang terdiri dari 6 tahapan yakni mengingat, memahami, mengimplementasikan, menganalisis, mensistesis dan mengevaluasi. Walaupun saat inii sudah ada versi revisi dari muridnya yang bernama Anderson, sehingga taksonominya menjadi mengingat, memahmi, mengimplementasikan, analisis, evaluasi dan menciptakan. Selain itu berkembang juga Robert Gagne (1962) yang memunculkan teori kegiatan pembelajaran, analisis hierarki, domain belajar yang terdiri keterampilan psikomotrik, informasi verbal, keterampilan intelectual, strategi kognitif dan sikap. Dari beberapa perkembangan itulah ilmu instructional design kemudian berkembanga secara cepat.
Dimensi instructional design
Bagi para perancang pembelajaran, maka
ilmu instructional design merupakan
ilmu yang menarik untuk dikaji, di samping itu dalam pemanfaatannya memerlukan
waktu, tenaga dan pikiran yang tidak sedikit. Apabila hendak dibuat persentasi
antara tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, maka menurut penulis
prosinya 50% untuk tahap perencaaan, 30 persen tahap pelaksanaan dan 20 persen
tahap evaluasi. Karena pada kenyataannya proses pelaksanaan dan evaluasi sudah
dipersiapkan dalam tahap sebelumnya yakni tahap perencanaan.
Dengan demikian yang harus dilakukan dalam tahap perencanaan pembelajaran meliputi beberapa hal berikut ini.
1.
Analisis
kebutuhah pembelajaran
Tahap ini merupakan tahap yang paling awal dan
mendasar untuk dilakukan, tahap inilah yang akan menghasilkan beberapa
permasalahan yang harus diselesaikan melalui program pembelajaran. Untuk
mendapatkan analisis kebutuhan yang valid maka perlu dilakukan proses yang
benar. Beberapa proses yang dapat dilakukan melalui kegiatan observasi
keterampilan kerja awal peserta didik, kemudian melalui wawancara untuk
mengetahui kesulitan belajar, metode yangg paling dirasa nyaman dan gaya
belajar yang paling dominan dari para peserta didik dan pemberian tes awal
untuk mengetahui kemampuan awal para peserta didik. Hasil analisis ini adalah
rekomendasi sesuai fakta tentang gap yang ada dengan yang seharusnya dikuasai
oleh para peserta diidk. Semua permasalahan tersebut yang kemudian akan
digunakan dalam menyusun tujuan umum dan tujuan khusus pada tahap yang
selanjutnya.
2. Penentuan tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran
Penentuan tujuan pembelajaran merupakan
tahapan yang wajib dilakukan oleh desainer pembelajaran. Tujuan ibarat target
yang harus dicapai. Anak panah tidak akan mencapai target yang tepat apabila
tidak memiliki tujuan yang jelas kemana dilepaskannya. Pembelajaran yang baik
adalah pembelajaran yang dapat dilaksanakan secara efektif mencapai tujuan
pembelajarannya itu sendiri. Adapun perbedaan antara tujuan umum dan tujuan
khusus terletak pada luasan makna yang terkandung dalam kalimat tujuannya.
Untuk memahami mengenai kata-kata yang tepat digunakan dalam penentuan tujuan
umum dan khusus maka perlu latihan. Misalnya tujuan umumnya adalah peserta
didik mampu memahami tentang fenomena gerhana matahari, maka tujuan khususnya
dapat menggunakan kata menjelaskan, menyebutkan, mengidentifikasi, merangkum
dan lain-lain yang memiliki maka lebih operasional dari tujuan umumnya.
3. Penyiapan bahan ajar
Setelah proses analisis kebutuhan dan
penentuan tujuan umum dan khusus selesai, tahap selanjutnya adalah penyiapan
bahan ajar. Bahan ajar dapat membuat sendiri atau menggunakan yang sudah ada
namun harus yang benar-benar relevan dengan tujuan yang telah disusun. Maka
bahan ajar yang baik adalah yang dikembangkan sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Bahan ajar dapat disajikan dalam bentuk buku cetak, buku
branching, media presentasi, disimpan di web, CD, DVD bahkan dalam perangka
mobile device sebagaimana yang berkembang saat ini.
4. Penentuan metode dan strategi pembelajaran yang tepat
Tahap selanjutnya dalah penentuan metode dan
strategi yang tepat. Ukuran tepatnya untuk siapa? Bukan untuk pendidik
melainkan tepat dengan gaya dna karakter belajar para peserta didik, di samping itu juga tepat sesuai
karakteristik materi. Misalnya untuk materi tentang astronomi maka strategi
belajar yang tepat bukan dengan ceramah walaupun hal tersebut memudahkan
gurunya, melainkan melaui pemutaran video tentang astronomi atau berkunjung ke
museum.
5. Pemilihan media yang hendak digunakan
Proses yang tidak kalah penting adalah ketetapan
dalam pemilihan media pembelajaran yang hendak digunakan. Pemilihan jenis media
disesuaikan dengan hasil analisis kebutuhan. Kemudian disesuaikan dengan
tingkat perkembangan usia dan kematangan para peserta didik. Secara sederhana
media adalah medium yang bearti saluran perantara yang dapat menghantarkan
pesar dari sumber menuju user yakni para peserta didik dan berlangsung secara
efektif dan efisien.
6. Penyusunan desain evaluasi yang akan dilakukan
Tidak sedikit pendidik yang kadang baru
memikirkan model dan jenis evaluasi setelah proses pembelajaran mau selesai.
Padahal yang sebaiknya dilakukan adalah mempersiapkan model desain evaluasi
sejak proses perencanaan pembelajaran. Salah satu yang harus dirancang adalah desain
evaluasi yang akan dilakukan. Secara umum ada dua pendekatan evaluasi yakni
pendekatan evaluasi proses dan hasil pembelajaran. Evaluasi yang baik tidak
hanya mengukur hasil melainkan juga proses. Dan proses pengukuran yang baik
bukan pengukuran yang dilakukan secara general melainkan secara otentik. Karena
belajar merupakan proses perubahan tingkah laku secara permanent dalam diri
peserta didik setelah berinteraksi dengan lingkungannya. Maka kriteria
penilaian setiap peserta didik idealnya dilakukan secara berbeda. Yang diukur
bukan skor akhirnya melainkan gain (peningkatan) antara sebelum dan sesudah
belajar.
7. Penyusunan instrumen evaluasi pembelajaran
Hasil evaluasi yang baik hanya akan diperoleh
dengan menggunakan instrumen yang valid dan reliabel. Setidaknya sebuah
instrumen yang baik harus melewati tahapan uji diri, teman sejawat, uji ahli
dan uji empiris sebelum digunakan untuk mengukur hasil belajar peserta didik
yang kita rencanakan. Dalam instrumen baik yang menggunakan teknik tes maupun
non test harus mampu mengukur setiap indikator dalam tujuan pembalajaran yang
sudah ditentukan dari awal. Di samping itu instrumen yang digunakan terutama
untuk jenis soal, maka harus dipastikan mempertanyakan sesuatu yang sudah
diajarkan kepada para peserta didik.
8. Penyusunan kriteria keberhasilan program pembelajaran.
Tahapan yang tidak kalah penting dalam
serangkaian proses desain pembelajaran adalah kriteria keberhasilan program
pembelajaran yang direncakan dan dilaksanakan. Sejak awal perencanaan dan pengembagan
pembelajaran, kriteria sudah harus ditentukan. Hal ini penting agar para
pendidik tidak terjebak dalam pola peniliaan subjektif dan dapat menjaga
objektivitas pengukuran hasil belajar para peserta didik. Hal tersebut
merupakan salah satu prinsip evaluasi yang paling mendasar yang kadang sering
terkalahkan oleh unsur-unsur pribadi evaluator apakah itu karena kedekatan,
atau karena asumsi awal terhadap peserta didiknya.
Dengan demikian dunia instructional desain merupakan dunia yang luas, unik dan menarik untuk di dalami. Dunia ini tidak hanya untuk para guru di sekolah, melainkan juga para dosen dikampus, instruktur pelatihan, widiaiswara di lembaga diklat. Dan bagi yang berprofesi sebagai perancang pembelajaran itu sendiri. Semoga bermanfaat.
Garut, 10 Oktober
2016
09.15-10.32 WIB.
Komentar
Posting Komentar
You can give whatever messages for me,,